BAB
3
TINJAUAN
PUSTAKA
3.1 Pengertian Bank
Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia no.10 tahun 1998
tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan Bank
adalah “Badan usaha yang menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.
Menurut Kasmir (2007:2-3),
bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke
masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank
lainnya.
Bank adalah lembaga keuangan
atau badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk asset keuangan
(financial assets) serta bermotifkan profit dan juga social, jadi bukan hanya
mencari keuntungan saja. (http:arispermana.wordpress.com/2012/05/04/pengertian-bank)
Dari uraian diatas, maka
penulis mengambil kesipulan bahwa pengertian Bank adalah sebagai suatu badan
usaha yang kegiatan utamanya menghimpun dana dari masyarakat dan atau pihak
lainnya dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit
untuk memperoleh keuntungan serta menyediakan jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
3.2 Perbankan Syariah
3.2.1
Defenisi Perbankan Syariah
Berikut beberapa pengertian
tentang perbankan syariah yang penulis kutip dari beberapa sumber:
a.
Defenisi Menurut UU RI No.21 tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah Bab 1 Pasal 1: Perbankan syariah adalah segala
sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syaria, mencakup
kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya.
b.
Bank Syariah adalah lembaga keuangan
yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan
prinsip-prinsip Syari’ah. oleh karena itu, usaha Bank akan selalu berkaitan
dengan masalah uang sebagai dagang utamanya (Sudarsono, 2003, hal: 27).
c.
Mengacu pada pendapat Yusuf Qardhawi
(2001),Bank syariah adalah suatu institusi keuangan (bank) yang bekerja dengan
cara yang adil dan transparan di bawah
pembinaan dan pengawasan
moneter pemerintah (Dewan Syariah
Nasional).
d.
Menurut Dzauli dalam Artriyuddin tahun
2009 halaman 25, bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Hadist
(Paramitha, 2010:26).
Dari
uraian diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian bank syariah
adalah lembaga keuangan yang dalam menjalankan kegiatannya berlandaskan prinsip
syariah, baik dalam penghimpunan dana maupun penyaluran dana yang dalam
perbankan syariah disebut dengan pembiayaan dengan berlandaskan Al-Quran dan
Hadist.
3.3 Unit Usaha Syariah
Berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 11/10/PBI/2009 Tentang Unit Usaha Syariah
Unit Usaha Syariah (UUS)
adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk, dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank
yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu
syariah dan atau unit syariah. (www.bi.go.id)
3.4 Fungsi Bank
Menurut Santoso (2006:9),
secara umum fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai
financial intermediary. Secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development,
dan agent of service.
3.4.1
Agent of trust
Dasar utama kegiatan
perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal penghimpunan dana maupun
penyaluran dana. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila
dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan
disalahgunakan, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut,
dan pada saat yang dijanjikan simpanan tersebut akan dapat ditarik kembali dari
bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada
debitur atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan.
3.4.2
Agent of development
Kegiatan bank memungkinkan
masyarakat melakukan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan distribusi
barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi, distribusi dan konsumsi
tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi dan konsumsi
ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
3.4.3
Agent of service
Disamping melakukan kegiatan
penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan
yang lain kepada masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitanya dengan
kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa
jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan
penyelesaian tagihan.
3.5 Landasan Syariah Tentang Riba
Riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil
atau bertentangan dengan prinsip uaalah dala Islam (Antonio, 2005:37). Umat
Islam dilarang mengambil ribabersumber dari berbagai surah dalam Al-Quran dan
Hadist Rasulullah SAW.
a.
Al-Quran
Al-Quran
menjelaskan bahwa hak seseorang itu terbatas pada harta pokoknya, tidak lebih.
Kelebihan yang diambil sebagai kompensasi kredit adalah zhalim, dimana
kezhaliman itu hukumnya jelas-jelas haram.
Allah
berfirman dalam surah Al-baqarah ayat 275

275.
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.
Surah
Ali-Imran ayat 130:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا
عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya:
”Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Surah
Ar-Rum ayat 39
وَمَا
آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ
اللَّهِ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ
Artinya:
”Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) ”.
b.
Al-Hadist
Dari
Suhaiba Ar-rumi r.a. bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara
tangguh, muqaradhad (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah).
3.6 Pembiayaan Syariah
3.6.1
Pengertian Pembiayaan Syariah
Pembiayaan syariah merupakan
kegiatan bank dalam memberikan fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan
pihak-pihak yang mengajukan permohonan pembiayaan yang kegiatan operasionalnya
berdasarkan prinsip syariah.
3.6.2
Jenis Pembiayaan Syariah
Menurut Antonio
(2001:90-118) dalam Paramita (2010:34) jenis pembiayaan berdasarkan operasional
syariah adalah sebagai berikut:
a. Murabahah
Adalah jual beli barang pada
harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
b. Istishna
Adalah kontrak penjualan
antara pembeli dengan pembuat barang.
c. Ijarah Muntahia Bit-Tamlik
Adalah sejenis perpaduan
antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri
dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.
d. Mudharabah
Adalah akad kerjasama antara
dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan 100% modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola dana (Mudharib).
e. Musyarakah
Adalah akad kerjasama
anatara dua pihak memberikan kontribusi dana (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerigian
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
3.6.3
Pembiayaan
Mudharabah
3.6.3.1
Pengertian Mudharabah
Kata Mudharabah secara
etimologi berasal dari kata darb.
Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti.
Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar
berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna tersebut bergantung pada kata
yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis,
mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya
menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan
dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.” Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai
penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan
kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan
sebagian dari keuntungannya.
Madzhab Syafi’i
mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha
untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik
bersama antara keduanya. Sedangkan
madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya
dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan
mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.
Mudharabah adalah akad
antara pihak pemilik modal (shahibul mal)
dengan pengelola (mudharib) untuk
memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah
disepakati di awal akad.
Mudharabah adalah salah satu
jenis pembiayaan untuk usaha atau proyek (dapat disejajarkan dengan instrumen
pembiayaan obligasi / quasi equity
seperti obligasi konversi).
Pengusaha proyek adalah
pemegang amanah terhadap modal yang diterima dari pemilik modal (venture capital company) di mana modal
merupakan titipan/amanah dalam konsep wadiah yang dapat dimanfaatkan untuk
memperoleh keuntungan. Pengusaha saat melakukan proyek yang berkaitan dengan Al
Mudharabah adalah wakil pemilik modal, dan jika pengusaha memperoleh keuntungan
maka pengusaha bertindak sebagai rekan pemilik modal, sehingga keuntungan
tersebut harus dibagikan sesuai dengan prinsip musyarakah yang mengharuskan
adanya bagi hasil yang adil antara rekan perkongsian. Bagi hasil keuntungan ini
dengan Nisbah (profit sharing ratio /
perbandingan, misalnya 66% : 33% untuk pemilik modal : pengusaha) ditentukan pada
kesepakatan/perjanjian awal. Modal disediakan seluruhnya oleh pemilik modal
sampai suatu masa tertentu di mana modal tersebut dikembalikan secara utuh. Al
Mudharabah ini sering disebut trust financing yang hanya diberikan kepada
pengusaha yang sudah teruji memegang amanah dengan baik, sehingga jika terjadi
satu dan lain hal yang merugikan kedua belah pihak, hal itu tidak disebabkan
oleh kesalahan pengelolaan si pengusaha sehingga risiko dapat ditanggung
bersama secara adil.
Dalam pembiayaan syariah, mudharabah
mempunyai implementasi spesifik dalam bentuk quasi equity seperti obligasi
konversi. Obligasi / Quasi equity
dalam pasar modal syariah adalah suatu kontrak hutang yang tertulis, berjangka
panjang, untuk membayar kembali seluruh nilai hutang pada tanggal tertentu dan
membayar sejumlah keuntungan secara periodik menurut aqad atau suatu bukti
penyertaan dana dalam jangka panjang (seperti modal) tetapi dapat ditarik
kembali sesuai aqad. (M. Gunawan, 2004)
Mudharabah adalah akad yang
dilakukan antara pemilik modal dengan mudharib (pengelola), dimana keuntungan
disepakati diawal untuk dibagi bersama dan kerugian ditanggung oleh pemilik
modal. Aplikasi dalam lembaga keuangan : di sisi liabilitas, mudharabah adalah
akad antara depositor (pemilik modal) dengan lembaga keuangan (mudharib) untuk
mengelola dana depositor. Di sisi asset,
mudharabah adalah akad pembiayaan lembaga keuangan terhadap usaha/proyek
nasabah, dimana lembaga keuangan
menyediakan modal 100% dari usaha/proyek tersebut dengan sistem bagi hasil..
Aplikasi dalam lembaga
keuangan akad ini diterapkan untuk proyek yang dibiayai langsung oleh dana
nasabah, sedangkan lembaga keuangan hanya bertindak sebagai wakil yang
mengadministrasikan proyek itu. Dalam terminologi perbankan syariah, ini lazim
disebut special investment. (Z.Arifin, 1999 : 202).
Mudharabah adalah suatu akad
(kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau semaknanya tertentu dalam
jumlah, jenis, dan karakter (sifat) dari orang yang diperbolehkan mengelola
harta kepada orang lain yang ‘aqil (berakal), mumayyiz (dewasa), dan bijaksana,
yang ia pergunakan untuk berdagang
dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah
pembagiannya dalam kesepakatan.
Dari pengertian di atas,
maka modal dalam akad mudharabah sepenuhnya berasal dari pemilik modal
(shahibul al mal). Selain itu pemilik
modal (shahibul al mal) tidak terlibat dalam manajemen usaha.
Keuntungan dibagi menurut
nisbah yang disepakati kedua belah pihak.
Manakala terjadi kerugian, yang menangung yang menanggung adalah pemilik
modal (shahibul al mal). Pihak
pengelola tidak menanggung kerugian secara materi, tetapi cukuplah ia
menanggung kerugian tenaga dan waktu yang dikeluarkan selama menjalankan usaha,
selain tidak mendapatkan bagian keuntungan. ( Widodo
dkk, 1999 : 51)
Mudharabah adalah akad
kerjasama usaha antara shahibul maal dan mudharib dengan pembagian keuntungan
sesuai nisbah yang disepakati dari awal.
Jika rugi secara alamiah
maka ditanggung oleh shahibul maal, tetapi jika akibat kelalaian / penyimpangan
ditanggung ditanggung mudharib..
Contoh Perhitungan Praktis
Pembiayaan Mudharabah
Seorang pedagang yang
memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan
bagi hasil seperti mudharabah, di mana bank bertindak selaku shahibul maal
(penyandang dana) dan nasabah selaku mudharib
(pengelola). Caranya adalah dengan menghitung dulu perkiraan pendapatan yang
akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya, dari modal
Rp30.000.000,00 diperoleh pendapatan Rp5.000.000,00 per bulan. Dari pendapatan
ini harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal, misalnya
Rp2.000.000,00. Selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan
di muka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank. (M. Gunawan, 2004)
3.6.3.2
Jenis-jenis mudharabah
Secara umum, mudharabah
dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted
Investment Account):
a)
Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account) adalah
akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku
investor dengan mudharib selaku
pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan
dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha,
maupun yang lain.
b)
Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Mudharabah muqayyadah adalah jika shahibul maal memberikan batasan kepada
mudharib mengenai tempat, cara, dan objek investasi. Mudharib dapat diperintahkan untuk : tidak
mencampurkan dana shahibul maal dengan dana lainnya, tidak menginvestasikan
dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa jaminan atau mengharuskan
mudharib untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga. (Wiroso,
2002:89)
Disebut juga dengan istilah
(Restricted Investment Account) yaitu
kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul
maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan
batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis
instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.
3.6.3.3
Landasan Pembiayaan Mudharabah
1)
Al-Quran
“…..Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba…” (Al-Baqarah:275).
2)
Fatwa Dewan Syariah Nasional No:
07/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M tentang
PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH) dan pengertian pembiayaan Mudharabah. Pembiayaan
Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk
suatu usaha yang produktif.
3.6.3.4
Perbedaan antara bank syariah dan konvensional
Perbedaan antara bank
syariah dengan bank konvensional dapat dilihat dengan tabel di bawah ini:
Tabel 3.1
Perbedaan Bank Syariah dan Bank
Konvensional
Parameter
|
Bank Syariah
|
Bank Konvensional
|
Landasan hukum
|
UU Perbankan dan Landasan Syariah
|
UU Perbankan
|
Return
|
Bagi hasil, margin pendapatan sewa, komisi/fee
|
Bunga, komisi/fee
|
Hubungan dengan nasabah
|
Kemitraan, Investor-investor, investor-pengusaha
|
Debitur-kreditur
|
Fungsi dan kegiatan Bank
|
Intermediasi, manager investasi, investor, sosial, jasa keuangan
|
Intermediasi, jasa keuangan
|
Prinsip dasar operasi
|
Anti riba dan anti maysir
|
Tidak anti riba dan maysir
|
Prioritas pelayanan
|
1. Tidak bebas nilai (prinsip syariah Islam)
2. Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi
3. Bagi hasil, jual beli, sewa
|
1. Bebas
nilai (prinsip materialis)
2. Uang
sebagai komoditi
3. Bunga
|
Bentuk usaha
|
Tujuan social-ekonomi Islam, keuntungan
|
Keuntungan
|
Orientasi
|
Kepentingan public
|
Kepentingan pribadi
|
Evaluasi nasabah
|
Bank komersial, bank
pembangunan, bank universal, atau multi purpose
|
Bank komersial
|
Parameter
|
Bank Syariah
|
Bank Konvensional
|
Hubungan nasabah
|
Lebih hati-hati karena partisipasi dalam risiko
|
Kepastian pengembalian pokok dan bunga
|
Suber likuiditas jangka pendek
|
Erat sebagai mitra usaha
|
Terbatas debitur-kreditur
|
Pinjaman yang diberikan
|
Terbatas
|
Pasar uang, bank sentral
|
Prinsip usaha
|
Komersial dan nonkomersial, berorentasi laba dan nirlaba
|
Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba
|
Pengelolaan dana
|
Pasiva ke Aktiva
|
Aktiva ke Pasiva
|
Lembaga penyelesaian sengketa
|
Pengadilan, arbitrase
|
Pengadilan, Badan Arbitrase Syariah Nasional
|
Risiko Investasi
|
|
|
Monitoring pembiayaan/Kredit
|
Memungkinkan bank ikut dalam manajemen nasabah
|
Terbatas pada administrasi
|
Struktur Organisasi Pengawas
|
Dewan komisaris, Dewan Pengwas Syariah, Dewan Syaraiah Nasional
|
Dewan komisaris
|
Kriteria pembiayaan
|
Bankable, Halal
|
Bankable, Halal atau haram
|
Sumber:
Veitzal Rifai, tahun 2001
Perbedaan
ini meliputi aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan
lingkungan kerja.
a. Akad
dan Aspek Legalitas
Dalam
bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi
karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Setiap akad dalam perbankan
syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya,
harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
1) Rukun
: Penjual, Pembeli, Barang, Harga, Akad/ Ijab Kabul.
2) Syarat
: misalnya, barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa
yang haram menjadi batal demi hukum syariah.
b. Lembaga
Penyelesai Sengketa
Jika
pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan
nasabahnya, kedua belah pihak dapat
tidak menyelesaikannya di peradilan, tetapi menyelesaikannya sesuai tata
cara dan hukum materi syariah. (Badan Arbitrase Nasional : Lembaga yang
mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia)
c. Struktur
Organisasi
Bank
syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya
dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank
syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah
yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai
dengan garis-garis syariah.
d. Bisnis
dan Usaha yang dibiayai
Dalam
perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan
beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut:
1) Apakah
objek pembiayaan halal atau haram?
2)
Apakah
proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3)
Apakah
proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
4) Apakah
proyek berkaitan dengan perjudian?
5) Apakah
usaha itu berkaitan dengan industry senjata yang illegal atau berorientasi pada
pengembangan senjata pembunuh missal?
6) Apakah
proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?
e. Linkungan
kerja dan Corporate Culture
Sebuah
bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah.
Antara lain dalam hal etika (amanah
dan shiddiq), cara berpakaian dan
tingkah laku, akhlakul karimah dalam
menghadapi nasabah maupun rekan kerjanya, skilfull
dan professional, mampu mengerjakan tugas team-work
dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi, selain itu pula dalam hal reward and punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.
3.6.3.5
Syarat dan Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
a.
Syarat Akad Pembiayaan Mudharabah
Menurut
Sayyid Sabiq (2001:23) mudharabah harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
1)
Bahwa
modal itu harus berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk barang perhiasan, emas,
perak, atau barang dagangan, maka tidak sah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Munzir, “ Semua orang yang ilmunya kami jaga /hafal sepakat, bahwa
seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi orang lain untuk suatu
mudharabah. Namun jika modal itu berupa barang yang akan diperdagangkan harus
dihitung ke dalam nilai uang.
2)
Bahwa ia diketahui dengan jelas.
Maksudnya agar dapat dibedakan modal yang diperdagangkan dengan keuntungan yang
diperoleh, untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan pada waktu akad.
3)
Keuntungan yang menjadi hak pengelola
usaha dengan investor harus jelas nisbahnya (prosentasenya). Nabi Muhammad
pernah bermudharabah dengan penduduk Khaibar, dengan mengambil separo dari
keuntungannya. Motif dari perlunya nisbah ini ialah untuk menghindari kerugian
tertentu dari pihak yang bermudharabah, jika yang ditetapkan besaran nilai
uang, bukan prosentase, karena bisa jadi keuntungannya menurun sedangkan
biayanya tetap.
4)
Menurut Maliki dan Syafii, mudharabah
itu bersifat mutlak. Artinya pemilik modal/investor tidak membatasi kepada
pengelola usaha, untuk menggunakannya dalam usaha apa dan dimana, kapan, dan
dengan siapa harus bermuamallah. Namun Hanafi dan Hambali membolehkan
mudharabah baik dengan mutlak maupun muqoyyad. Baik dengan persyaratan tertentu
atau bebas.
b.
Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
Menurut
Ahmad Sumiyanto (2005: 3-6), Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad
mudharabah adalah :
1) Pelaku
(pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2) Obyek
mudharabah (modal dan kerja)
3) Persetujuan
kedua belah pihak (ijab- qobul)
4) Nisbah
keuntungan
Ad.2.1. Pelaku
Dalam
akad mudharabah minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak selaku
pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai
pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad
mudharabah tidak ada.
Ad.2.2. Obyek
Obyek
mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para
pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang
diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya.
Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling
skill, management skill, dan lain-lain.
Ad. 2.3.
Persetujuan
Faktor
ketiga yaitu persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip
at-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela
bersepakat untuk mengikatkan diri dalam
akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk
mengkontribusikan dana sedangkan pelaksana usaha pun setuju dengan perannya
untuk mengkontribusikan kerja.
Ad. 2.4. Nisbah Bagi Hasil
Faktor
yang keempat yaitu Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah. Faktor
inilah yang membedakan akad mudharabah dengan akad jual beli. Nisbah ini
mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah.
Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-māl mendapat
imbalan atas penyertaan modalnya.
3.6.4
Nisbah Bagi
Hasil
3.6.4.1
Pengertian Bagi Hasil
Menurut kamus bahasa
Indonesia, bagi hasil diartikan sebagai pemberian perolehan suatu usaha kepada
mitra usaha atas keikutsertaan modal atau kerja pengelolaan dalam jumlah yang
ditentukan bersama sebelumnya. Secara rinci pengertian kata hasil menunjuk pada
perolehan atau pendapatan.
Disini bagi hasil dapat
mengandung pengertian bagi perolehan revenue sharing bagi untung rugi profit-and loss sharing dan bagi untung
(profit sharing). Tetapi dalam tehnik penghitungan, dikenal dua istilah bagi
hasil yang terdiri dari bagi untung (profit sharing) dan bagi pendapatan
(revenue sharing). Bagi untung profit sharing adalah pembagian keuntungan usaha
yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Didalam
BMT, pola ini juga digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaganya
pada penabung (depositor).
Bagi hasil (revenue sharing) ialah bagi hasil yang
dihitung dari seluruh total pendapatan pengelolaan dana. Demikian juga, pola
ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan
Islam seperti BMT. Karena itu sistim bagi hasil pada BMT berarti sistim yang diterapkan
dalam ekonomi yang diatas namakan Islam yang menekankan pada pembagian hasil
usaha yang besarannya sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terkait. Dalam
perkembangannya Lembaga Keuangan Syariah biasanya memberlakukan pola bagi hasil
itu untuk pembiayaan perdagangan. Dalam hukum Islam lama (fiqh), bagi hasil terdapat dalam mudharabah dan musyarakah (syirkah). Kedua bentuk perjanjian
keuangan itu dianggap dapat menggantikan riba, yang mengambil bentuk
bunga.
Antara bunga dan bagi hasil,
keduanya sama-sama memberikan keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya
mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dilihat dari tabel
berikut :
Tabel 3.2
Perbedaan Imbalan Bank Konvensional dan Bank Syariah
BUNGA
|
BAGI HASIL
|
a.Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan
asumsi harus selalu untung
|
a.Penentuan besarnya rasio /nisbah bagi hasil dibuat
pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan ganti rugi
|
b.Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang
(modal) yang dipinjamkan.
|
b.Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah
keuntungan yang diperoleh.
|
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan
tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung
atau rugi.
|
c.Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang
dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua
belah pihak.
|
d.Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun
jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.
|
d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan
peningkatan jumlah pendapatan.
|
e.Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam)
oleh semua agama termasuk Islam.
|
e.Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
|
f.Jika terjadi kerugian ditanggung nasabah saja.
|
f. Jika terjadi kerugian ditanggung kedua belah
pihak, nasabah dan lembaga.
|
Keterangan :
- Secara teoritis, keunggulan bank/lembaga keuangan syariah terletak pada sistem yang berdasarkan atas prinsip bagi hasil (profit and lost sharing) dan berbagi resiko (risk sharing). Sistem ini diyakini para ulama sebagai jalan keluar untuk menghindari penerimaan dan pembayaran bunga (riba). Bank syariah pada hakikatnya adalah lembaga intermediasi yang menjadi perantara antara para pedagang dan investor. Tabungan hanya akan berguna, apabila diinvestasikan dan para penabung tidak dapat diharapkan untuk sanggup melakukannya sendiri dengan terampil dan sukses, maka tidak diragukan lagi bahwa bank dapat melakukan fungsi yang berguna bagi masyarakat Islam. Islam tidak menolak usaha yang menghasilkan laba. Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi bank untuk tidak masuk dalam suatu kemitraan dengan pengusaha dan meminjamkan dana, dengan tanpa memungut bunga, maka bank berbagi resiko dengan para pengusaha. Hal ini jelas sah dalam Islam, karena bank dapat merugi dan bank tidak memperoleh hasil yang tetap dan pasti. Di lain pihak, pengusaha juga memperoleh manfaat, karena merasa yakin tidak dipaksa untuk membayar jumlah yang pasti yang tidak mungkin dimiliki manakala perusahaan tidak berhasil sebagaimana mestinya. Deposito dari bank juga berbagi resiko dan juga akan memperoleh bagi hasil. Jadi dapat dikatakan tidak melanggar hukum Islam, karena menerima bunga. Jadi, semua pihak mendapat manfaat dan ini memenuhi kriteria keadilan yang diinginkan oleh Islam.
- Aktivitas lembaga keuangan syariah didukung dengan skema pinjaman tanpa imbalan yang disebut dana sosial (qardhul hasan). Pinjaman ini diberikan kepada orang yang posisinya secara ekonomis sangat lemah, namun memiliki potensi keterampilan berusaha. Lembaga sama sekali tidak mengambil manfaat dari pengelolaan dana tersebut. Mitra pembiayaan hanya berkewajiban untuk membayar kembali sebesar pokok pinjamannya.
- Lembaga keuangan syariah tidak membatasi dirinya untuk hanya bersedia meminjamkan dananya kepada sektor usaha yang sudah mapan saja, atau kepada orang yang dapat menyediakan jaminan untuk memastikan pembayaran kembali utang pokok dan bunganya saja, seperti yang selama ini berlaku pada sistem konvensional. Pengusaha kecil terdorong untuk tidak ragu-ragu melakukan inovasi guna meningkatkan efektivitas dan efisensi usahanya, karena adanya dukungan lembaga keuangan yang bersedia memberikan dukungan secara pasti terhadap usaha itu.
- Bank/lembaga keuangan syariah bekerja berdasarkan prinsip kemitraan dengan para pengusaha. Pembiayaan yang diberikan oleh bank disertai dengan pemberian konsultasi, pembinaan dan pengawasan, bahkan bila perlu menempatkan orang untuk membantu secara efektif dalam proses manejemen usaha.
Kelemahan Sistem Bunga
Jika dibandingkan dengan
sistem syariah, sistem LKM konvensional yang berbasis bunga memiliki berbagai
kelemahan sebagai berikut :
- Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan/kewajaran bisnis. Dalam bisnis, hasil dari setiap usaha selalu tidak pasti. Mitra pembiayaan sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui, walaupun mengalami kerugian, atau bila perusahaan untung kecil, tetapi bunga yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya.
- Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan kebangkrutan. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi produktif masyarakat secara keseluruhan sejalan dengan menganggurnya sebagian besar orang. Lebih dari itu, beban utang membuat kesulitan yang menghimpit usaha pemulihan ekonomi, serta membawa penderitaan lebih lanjut bagi seluruh masyarakat.
- Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan bunganya. Oleh karena itu, untuk keamanannya bank hanya mau meminjamkan dana kepada bisnis yang benar-benar mapan atau kepada orang yang sanggup memberikan jaminan bagi keamanan pinjamannya. Hal ini menyebabkan tidak seimbangnya pendapatan dan kesejahteraan.
- Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi inovasi oleh UKM. Usaha besar dapat mengambil resiko untuk mencoba teknik dan produk baru, karena memiliki cadangan dana sebagai sandaran bila ternyata ide barunya tidak berhasil, UKM sulit untuk mencoba ide baru. Bila meminjam dana berbunga dari bank dan ternyata ide barunya tersebut tidak berhasil, maka konsekuensinya harus membayar pinjaman beserta bunganya dan hal ini menyebabkan kebangkrutan.
- Dengan sistem bunga, bank tidak tertarik dalam kemitraan bisnis, kecuali bila ada jaminan pengembalian modal dan bunga. Setiap rencana bisnis yang diajukan selalu diukur dengan kriteria. Jadi, bank yang bekerja dengan sistem bunga tidak mempunyai insentif untuk membantu usaha yang berguna bagi masyarakat dan para pekerja. Sistem ini akan menyebabkan mis-alokasi sumber daya.
Keuntungan
yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shahibul māl dengan mudharib. Dengan demikian semua
pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk
kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam
biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shahibul māl dan mudharib sesuai dengan proporsi yang
disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal.
Tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shahibul
māl telah dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa
perjanjian akan dianggap sebagai pembagian keuntungan dimuka.
Secara umum bagi hasil dalam mudharabah
dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.1. Bagi Hasil dalam Mudharabah








|
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
![]() |
|||||||
|



![]() |

|
pokok
Keterangan :
1.
Nasabah mengajukan proposal
proyek kepada BMT dan BMT mempelajari
proposal tersebut dan timbul kesepakatan bersama. Kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam akad
mudharabah.
2.
BMT menyerahkan 100 % dana dan
nasabah mengelola proyek atau usaha, dengan jangka waktu, nisbah bagi hasil dan
persyaratan lainnya yang tercantum dalam akad pembiayaan.
3.
Pembagian keuntungan/kerugian :
-
Apabila proyek memberikan
keuntungan, maka keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.
-
Apabila proyek rugi, maka 100%
kerugian di tanggung BMT kecuali mudharib (pengelola dana) melakukan kesalahan
atau melanggar idak kesepakatan.
-
Dana mudharabah dikembalikan
dengan cara diangsur atau sekaligus oleh mudharib sesuai jangka waktu secara
teratur yang disepakati.
Implementasi
konsep pembiayaan bagi hasil akan menimbulkan konsekuensi lebih lanjut bahwa
seluruh kerugian dalam usaha yang dibiayai akan ditanggung oleh bank (shahibul māl) , kecuali jika kerugian
tersebut disebabkan oleh kelalaian nasabah atau melanggar persyaratan yang
telah disepakati. Selain itu juga pihak shahibul
māl harus aktif berusaha mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerugian
nasabah sejak awal, sehingga keduanya cenderung bekerjasama untuk mengatasi
masalah yang timbul.
3.6.4.2
Nisbah
Keuntungan
Nisbah keuntungan adalah proporsi pembagian keuntungan
dari hasil aktivitas mudharabah. Nisbah
harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan
dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu. Penentuan nisbah ditentukan
berdasarkan kesepakatan, bukan pada porsi setoran modal, walaupun dapat juga
bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal.
Ketentuan bagi untung dan bagi rugi merupakan
konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang
tergolong ke dalam kontrak investasi (natural uncertainty contracts). Dalam
kontrak ini, return dan timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor
riilnya. Apabila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang
besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian kecil juga.
Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk
prosentase, bukan dalam bentuk nominal rupiah tertentu.
Menurut Madzhab Hanafi dan sebagian Madzhab Syafi’i,
keuntungan harus diakui seandainya keuntungan usaha sudah diperoleh (walaupun
belum dibagikan). Sedangkan, Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali
menyebut, bahwa keuntungan hanya dapat diakui hanya ketika dibagikan secara
tunai kepada kedua pihak.
Pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan
mengembalikan lebih dahulu modal yang ditanamkan shahibul māl, namun kebanyakan
ulama menyetujui bila kedua belah pihak sepakat membagi keuntungan tanpa
mengembalikan modal. Hal ini berlaku sepanjang kerjasama masih berlangsung.
Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menahan untung, bila keuntungan
telah dibagikan, setelah itu usaha mengalami kerugian, sebagian ulama
berpendapat, bahwa pengelola akan diminta menutupi kerugian tersebut dari
keuntungan yang telah dibagikan kepadanya.
Keuntungan adalah milik bersama antara shahibul māl
dan mudharib, karena modal dan kerja adalah sejajar, saling berkepentingan, dan
membutuhkan, maka keduanya harus berhak atas keuntungan dengan nisbah
masing-masing.
Dalam pembagian hasil keuntungan mudharabah, nisbah
mudharib dapat lebih besar atau sebaliknya lebih kecil daripada shahibul māl
tergantung pada kesepakatan dalam akad mudharabah. Sebagaimana para ulama
sepakat bahwa keuntungan yang didapat oleh masing-masing pihak (shahibul māl dan mudharib) harus dalam
jumlah nisbah tertentu, jika keduanya telah sepakat bahwa seperempat (25%) atau
setengah (50 %) bagi mudharib
misalnya, maka hal itu sudah cukup dimengerti karena bagian sisa tentunya
adalah bagi shahibul māl, semuanya itu tergantung pada kesepakatan kedua belah
pihak, baik nisbah masing-masing sama atau lebih besar atau lebih kecil dan
harus ditepati. Sebab umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang telah mereka
sepakati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar