Sabtu, 21 Juli 2012

BAB 3 APLIKASI FATWA DSN MUI TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH TERHADAP REALISASI AKAD MUDHARABAH PADA PT BANK SUMUT UNIT USAHA SYARIAH CABANG S. PARMAN MEDAN


BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1  Pengertian Bank
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia no.10 tahun 1998  tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan Bank adalah “Badan usaha yang menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.

Menurut Kasmir (2007:2-3), bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank  lainnya.

Bank adalah lembaga keuangan atau badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk asset keuangan (financial assets) serta bermotifkan profit dan juga social, jadi bukan hanya mencari keuntungan saja. (http:arispermana.wordpress.com/2012/05/04/pengertian-bank)

Dari uraian diatas, maka penulis mengambil kesipulan bahwa pengertian Bank adalah sebagai suatu badan usaha yang kegiatan utamanya menghimpun dana dari masyarakat dan atau pihak lainnya dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali dalam bentuk kredit untuk memperoleh keuntungan serta menyediakan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran.






3.2  Perbankan Syariah
3.2.1        Defenisi Perbankan Syariah
Berikut beberapa pengertian tentang perbankan syariah yang penulis kutip dari beberapa sumber:
a.       Defenisi Menurut UU RI No.21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Bab 1 Pasal 1: Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syaria, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
b.      Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syari’ah. oleh karena itu, usaha Bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagang utamanya (Sudarsono, 2003, hal: 27).
c.       Mengacu pada pendapat Yusuf Qardhawi (2001),Bank syariah adalah suatu institusi keuangan (bank) yang bekerja dengan cara yang adil dan transparan  di  bawah  pembinaan  dan  pengawasan  moneter  pemerintah (Dewan Syariah Nasional).
d.      Menurut Dzauli dalam Artriyuddin tahun 2009 halaman 25, bank syariah adalah bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Hadist (Paramitha, 2010:26).

Dari uraian diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pengertian bank syariah adalah lembaga keuangan yang dalam menjalankan kegiatannya berlandaskan prinsip syariah, baik dalam penghimpunan dana maupun penyaluran dana yang dalam perbankan syariah disebut dengan pembiayaan dengan berlandaskan Al-Quran dan Hadist.



3.3  Unit Usaha Syariah
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/10/PBI/2009 Tentang Unit Usaha Syariah
Unit Usaha Syariah (UUS) adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk, dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan atau unit syariah. (www.bi.go.id)

3.4  Fungsi Bank
Menurut Santoso (2006:9), secara umum fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau sebagai financial intermediary. Secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of service.
3.4.1        Agent of trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan (trust), baik dalam hal penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan disalahgunakan, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan pada saat yang dijanjikan simpanan tersebut akan dapat ditarik kembali dari bank. Pihak bank sendiri akan mau menempatkan atau menyalurkan dananya pada debitur atau masyarakat apabila dilandasi adanya unsur kepercayaan.
3.4.2        Agent of development
Kegiatan bank memungkinkan masyarakat melakukan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan distribusi barang dan jasa, mengingat bahwa kegiatan investasi, distribusi dan konsumsi tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran  kegiatan investasi, distribusi dan konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
3.4.3        Agent of service
Disamping melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana, bank juga memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang ditawarkan bank ini erat kaitanya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum. Jasa ini antara lain dapat berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan.
3.5  Landasan Syariah Tentang Riba
Riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip uaalah dala Islam (Antonio, 2005:37). Umat Islam dilarang mengambil ribabersumber dari berbagai surah dalam Al-Quran dan Hadist Rasulullah SAW.
a.       Al-Quran
Al-Quran menjelaskan bahwa hak seseorang itu terbatas pada harta pokoknya, tidak lebih. Kelebihan yang diambil sebagai kompensasi kredit adalah zhalim, dimana kezhaliman itu hukumnya jelas-jelas haram.
Allah berfirman dalam surah Al-baqarah ayat 275
275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu  (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Surah Ali-Imran ayat 130:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.

Surah Ar-Rum ayat 39
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
Artinya:
”Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) ”.



b.      Al-Hadist
Dari Suhaiba Ar-rumi r.a. bahwa Rasulullah SAW. Bersabda, “tiga hal yang didalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhad (mudharabah) dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual” (HR Ibnu Majah).

3.6  Pembiayaan Syariah
3.6.1        Pengertian Pembiayaan Syariah
Pembiayaan syariah merupakan kegiatan bank dalam memberikan fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang mengajukan permohonan pembiayaan yang kegiatan operasionalnya berdasarkan prinsip syariah.
3.6.2        Jenis Pembiayaan Syariah
Menurut Antonio (2001:90-118) dalam Paramita (2010:34) jenis pembiayaan berdasarkan operasional syariah adalah sebagai berikut:
a.      Murabahah
Adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
b.      Istishna
Adalah kontrak penjualan antara pembeli dengan pembuat barang.
c.       Ijarah Muntahia Bit-Tamlik
Adalah sejenis perpaduan antara kontrak jual beli dan sewa atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa.


d.      Mudharabah
Adalah akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola dana (Mudharib).
e.       Musyarakah
Adalah akad kerjasama anatara dua pihak memberikan kontribusi dana (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan kerigian ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

3.6.3        Pembiayaan Mudharabah
3.6.3.1  Pengertian Mudharabah
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb. Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti. Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya.  Perubahan makna tersebut bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja (usaha) dari pihak lain.”  Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.
Madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama antara keduanya.  Sedangkan madzhab Hambali menyatakan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya.
Mudharabah adalah akad antara pihak pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan  tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad.  
Mudharabah adalah salah satu jenis pembiayaan untuk usaha atau proyek (dapat disejajarkan dengan instrumen pembiayaan obligasi / quasi equity seperti obligasi konversi).
Pengusaha proyek adalah pemegang amanah terhadap modal yang diterima dari pemilik modal (venture capital company) di mana modal merupakan titipan/amanah dalam konsep wadiah yang dapat dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan. Pengusaha saat melakukan proyek yang berkaitan dengan Al Mudharabah adalah wakil pemilik modal, dan jika pengusaha memperoleh keuntungan maka pengusaha bertindak sebagai rekan pemilik modal, sehingga keuntungan tersebut harus dibagikan sesuai dengan prinsip musyarakah yang mengharuskan adanya bagi hasil yang adil antara rekan perkongsian. Bagi hasil keuntungan ini dengan Nisbah (profit sharing ratio / perbandingan, misalnya 66% : 33% untuk pemilik modal : pengusaha) ditentukan pada kesepakatan/perjanjian awal. Modal disediakan seluruhnya oleh pemilik modal sampai suatu masa tertentu di mana modal tersebut dikembalikan secara utuh. Al Mudharabah ini sering disebut trust financing yang hanya diberikan kepada pengusaha yang sudah teruji memegang amanah dengan baik, sehingga jika terjadi satu dan lain hal yang merugikan kedua belah pihak, hal itu tidak disebabkan oleh kesalahan pengelolaan si pengusaha sehingga risiko dapat ditanggung bersama secara adil.
Dalam pembiayaan syariah, mudharabah mempunyai implementasi spesifik dalam bentuk quasi equity seperti obligasi konversi. Obligasi / Quasi equity dalam pasar modal syariah adalah suatu kontrak hutang yang tertulis, berjangka panjang, untuk membayar kembali seluruh nilai hutang pada tanggal tertentu dan membayar sejumlah keuntungan secara periodik menurut aqad atau suatu bukti penyertaan dana dalam jangka panjang (seperti modal) tetapi dapat ditarik kembali sesuai aqad. (M. Gunawan, 2004)
Mudharabah adalah akad yang dilakukan antara pemilik modal dengan mudharib (pengelola), dimana keuntungan disepakati diawal untuk dibagi bersama dan kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Aplikasi dalam lembaga keuangan : di sisi liabilitas, mudharabah adalah akad antara depositor (pemilik modal) dengan lembaga keuangan (mudharib) untuk mengelola dana depositor.  Di sisi asset, mudharabah adalah akad pembiayaan lembaga keuangan terhadap usaha/proyek nasabah, dimana lembaga keuangan  menyediakan modal 100% dari usaha/proyek tersebut dengan sistem bagi hasil..
Aplikasi dalam lembaga keuangan akad ini diterapkan untuk proyek yang dibiayai langsung oleh dana nasabah, sedangkan lembaga keuangan hanya bertindak sebagai wakil yang mengadministrasikan  proyek itu.  Dalam terminologi perbankan syariah, ini lazim disebut special investment. (Z.Arifin, 1999 : 202).
Mudharabah adalah suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau semaknanya tertentu dalam jumlah, jenis, dan karakter (sifat) dari orang yang diperbolehkan mengelola harta kepada orang lain yang ‘aqil (berakal), mumayyiz (dewasa), dan bijaksana, yang ia pergunakan untuk  berdagang dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah pembagiannya dalam kesepakatan.
Dari pengertian di atas, maka modal dalam akad mudharabah sepenuhnya berasal dari pemilik modal (shahibul al mal).  Selain itu pemilik modal (shahibul al mal) tidak terlibat dalam manajemen usaha.

Keuntungan dibagi menurut nisbah yang disepakati kedua belah pihak.  Manakala terjadi kerugian, yang menangung yang menanggung adalah pemilik modal (shahibul al mal). Pihak pengelola tidak menanggung kerugian secara materi, tetapi cukuplah ia menanggung kerugian tenaga dan waktu yang dikeluarkan selama menjalankan usaha, selain tidak mendapatkan bagian keuntungan. ( Widodo dkk, 1999 : 51)
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara shahibul maal dan mudharib dengan pembagian keuntungan sesuai nisbah yang disepakati dari awal.
Jika rugi secara alamiah maka ditanggung oleh shahibul maal, tetapi jika akibat kelalaian / penyimpangan ditanggung ditanggung mudharib..
Contoh Perhitungan Praktis Pembiayaan Mudharabah
Seorang pedagang yang memerlukan modal untuk berdagang dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti mudharabah, di mana bank bertindak selaku shahibul maal (penyandang dana) dan nasabah selaku mudharib (pengelola). Caranya adalah dengan menghitung dulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh nasabah dari proyek yang bersangkutan. Misalnya, dari modal Rp30.000.000,00 diperoleh pendapatan Rp5.000.000,00 per bulan. Dari pendapatan ini harus disisihkan dahulu untuk tabungan pengembalian modal, misalnya Rp2.000.000,00. Selebihnya dibagi antara bank dengan nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60% untuk nasabah dan 40% untuk bank. (M. Gunawan, 2004)
3.6.3.2  Jenis-jenis mudharabah
Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah muqoyyadhah (Restricted Investment Account):

a)      Mudharabah Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib) mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha,  maupun yang lain.
b)      Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Mudharabah muqayyadah adalah jika shahibul maal memberikan batasan kepada mudharib mengenai tempat, cara, dan objek investasi.  Mudharib dapat diperintahkan untuk : tidak mencampurkan dana shahibul maal dengan dana lainnya, tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan, tanpa jaminan atau mengharuskan mudharib untuk melakukan investasi sendiri tanpa melalui pihak ketiga. (Wiroso, 2002:89)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.

3.6.3.3  Landasan Pembiayaan Mudharabah
1)      Al-Quran
“…..Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (Al-Baqarah:275).
2)      Fatwa Dewan Syariah Nasional  No: 07/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M tentang PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH) dan pengertian pembiayaan Mudharabah. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
3.6.3.4  Perbedaan antara bank syariah dan konvensional
Perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional dapat dilihat dengan tabel di bawah ini:
                                                      Tabel 3.1
          Perbedaan  Bank Syariah dan Bank Konvensional
Parameter
Bank Syariah
Bank Konvensional
Landasan hukum
UU Perbankan dan Landasan Syariah
UU Perbankan
Return
Bagi hasil, margin pendapatan sewa, komisi/fee
Bunga, komisi/fee
Hubungan dengan nasabah
Kemitraan, Investor-investor, investor-pengusaha
Debitur-kreditur
Fungsi dan kegiatan Bank
Intermediasi, manager investasi, investor, sosial, jasa keuangan
Intermediasi, jasa keuangan
Prinsip dasar operasi
Anti riba dan anti maysir
Tidak anti riba dan maysir
Prioritas pelayanan
1.       Tidak bebas nilai (prinsip syariah Islam)
2.       Uang sebagai alat tukar dan bukan komoditi
3.      Bagi hasil, jual beli, sewa
1.      Bebas nilai (prinsip materialis)
2.      Uang sebagai komoditi
3.      Bunga

Bentuk usaha
Tujuan social-ekonomi Islam, keuntungan
Keuntungan
Orientasi
Kepentingan public
Kepentingan pribadi
Evaluasi nasabah

Bank komersial, bank
pembangunan, bank universal, atau multi purpose

Bank komersial
Parameter
Bank Syariah

Bank Konvensional
Hubungan nasabah
Lebih hati-hati karena partisipasi dalam risiko
Kepastian pengembalian pokok dan bunga
Suber likuiditas jangka pendek
Erat sebagai mitra usaha
Terbatas debitur-kreditur
Pinjaman yang diberikan
Terbatas
Pasar uang, bank sentral
Prinsip usaha
Komersial dan nonkomersial, berorentasi laba dan nirlaba
Komersial dan nonkomersial, berorientasi laba
Pengelolaan dana
Pasiva ke Aktiva
Aktiva ke Pasiva
Lembaga penyelesaian sengketa
Pengadilan, arbitrase
Pengadilan, Badan Arbitrase Syariah Nasional
Risiko Investasi
  1. Dihadapi bersama antara bank dan nasabah dengan prinsip keadilan dan kejujuran
  2. Tidak mungkin terjadi negative spread
  1. Risiko bank tidak terkait langsung dengan debitur, risiko debitur tidak terkait langsung dengan bank
  2. Kemungkinan terjadi negative spread
Monitoring pembiayaan/Kredit
Memungkinkan bank ikut dalam manajemen nasabah
Terbatas pada administrasi
Struktur Organisasi Pengawas
Dewan komisaris, Dewan Pengwas Syariah, Dewan Syaraiah Nasional
Dewan komisaris
Kriteria pembiayaan
Bankable, Halal
Bankable, Halal atau haram
Sumber: Veitzal Rifai, tahun 2001




Perbedaan ini meliputi aspek legal, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
a.       Akad dan Aspek Legalitas
Dalam bank syariah, akad yang dilakukan memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum Islam. Setiap akad dalam perbankan syariah, baik dalam hal barang, pelaku transaksi, maupun ketentuan lainnya, harus memenuhi ketentuan akad, seperti hal-hal berikut:
1)      Rukun : Penjual, Pembeli, Barang, Harga, Akad/ Ijab Kabul.
2)      Syarat : misalnya, barang dan jasa harus halal sehingga transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum syariah.

b.      Lembaga Penyelesai Sengketa
Jika pada perbankan syariah terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah pihak dapat  tidak menyelesaikannya di peradilan, tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum materi syariah. (Badan Arbitrase Nasional : Lembaga yang mengatur hukum materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia)

c.       Struktur Organisasi
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat membedakan antara bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.

d.      Bisnis dan Usaha yang dibiayai
Dalam perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya sebagai berikut:
1)      Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
2)      Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3)      Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
4)      Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?
5)      Apakah usaha itu berkaitan dengan industry senjata yang illegal atau berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh missal?
6)      Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung?

e.       Linkungan kerja dan Corporate Culture
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang sejalan dengan syariah. Antara lain dalam hal etika (amanah dan shiddiq), cara berpakaian dan tingkah laku, akhlakul karimah dalam menghadapi nasabah maupun rekan kerjanya, skilfull dan professional, mampu mengerjakan tugas team-work dimana informasi merata di seluruh fungsional organisasi,  selain itu pula dalam hal reward and punishment diperlukan prinsip keadilan yang sesuai dengan syariah.

3.6.3.5  Syarat dan Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
a.       Syarat Akad Pembiayaan Mudharabah
Menurut Sayyid Sabiq (2001:23) mudharabah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut  :
1)                 Bahwa modal itu harus berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk barang perhiasan, emas, perak, atau barang dagangan, maka tidak sah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Munzir, “ Semua orang yang ilmunya kami jaga /hafal sepakat, bahwa seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi orang lain untuk suatu mudharabah. Namun jika modal itu berupa barang yang akan diperdagangkan harus dihitung ke dalam nilai uang.
2)      Bahwa ia diketahui dengan jelas. Maksudnya agar dapat dibedakan modal yang diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan pada waktu akad.
3)      Keuntungan yang menjadi hak pengelola usaha dengan investor harus jelas nisbahnya (prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabah dengan penduduk Khaibar, dengan mengambil separo dari keuntungannya. Motif dari perlunya nisbah ini ialah untuk menghindari kerugian tertentu dari pihak yang bermudharabah, jika yang ditetapkan besaran nilai uang, bukan prosentase, karena bisa jadi keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
4)      Menurut Maliki dan Syafii, mudharabah itu bersifat mutlak. Artinya pemilik modal/investor tidak membatasi kepada pengelola usaha, untuk menggunakannya dalam usaha apa dan dimana, kapan, dan dengan siapa harus bermuamallah. Namun Hanafi dan Hambali membolehkan mudharabah baik dengan mutlak maupun muqoyyad. Baik dengan persyaratan tertentu atau bebas.  

b.      Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
Menurut Ahmad Sumiyanto (2005: 3-6), Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah :
1)  Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2)  Obyek mudharabah (modal dan kerja)
3)   Persetujuan kedua belah pihak  (ijab- qobul)
4)   Nisbah keuntungan



Ad.2.1. Pelaku
Dalam akad mudharabah minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak selaku pemilik modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidak ada.

Ad.2.2. Obyek
Obyek mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya. Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling skill, management skill, dan lain-lain.

Ad. 2.3.  Persetujuan
Faktor ketiga yaitu persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip at-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam  akad mudharabah. Si pemilik dana setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan dana sedangkan pelaksana usaha pun setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.

Ad. 2.4. Nisbah Bagi Hasil
Faktor yang keempat yaitu Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah. Faktor inilah yang membedakan akad mudharabah dengan akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-māl mendapat imbalan atas penyertaan modalnya.


3.6.4        Nisbah Bagi Hasil
3.6.4.1  Pengertian Bagi Hasil
Menurut kamus bahasa Indonesia, bagi hasil diartikan sebagai pemberian perolehan suatu usaha kepada mitra usaha atas keikutsertaan modal atau kerja pengelolaan dalam jumlah yang ditentukan bersama sebelumnya. Secara rinci pengertian kata hasil menunjuk pada perolehan atau pendapatan.

Disini bagi hasil dapat mengandung pengertian bagi perolehan revenue sharing bagi untung rugi profit-and loss sharing dan bagi untung (profit sharing). Tetapi dalam tehnik penghitungan, dikenal dua istilah bagi hasil yang terdiri dari bagi untung (profit sharing) dan bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi untung profit sharing adalah pembagian keuntungan usaha yang dihitung dari pendapatan setelah dikurangi biaya pengelolaan dana. Didalam BMT, pola ini juga digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaganya pada penabung (depositor).

Bagi hasil (revenue sharing) ialah bagi hasil yang dihitung dari seluruh total pendapatan pengelolaan dana. Demikian juga, pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan Islam seperti BMT. Karena itu sistim bagi hasil pada BMT berarti sistim yang diterapkan dalam ekonomi yang diatas namakan Islam yang menekankan pada pembagian hasil usaha yang besarannya sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang terkait. Dalam perkembangannya Lembaga Keuangan Syariah biasanya memberlakukan pola bagi hasil itu untuk pembiayaan perdagangan. Dalam hukum Islam lama (fiqh), bagi hasil terdapat dalam mudharabah dan musyarakah (syirkah). Kedua bentuk perjanjian keuangan itu dianggap dapat menggantikan riba, yang mengambil bentuk bunga.  

Antara bunga dan bagi hasil, keduanya sama-sama memberikan keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel 3.2
Perbedaan Imbalan Bank Konvensional dan Bank Syariah

BUNGA
BAGI HASIL
a.Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
a.Penentuan besarnya rasio /nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan ganti rugi
b.Besarnya prosentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
b.Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
c. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
c.Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
d.Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.
d. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
e.Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama termasuk Islam.
e.Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
f.Jika terjadi kerugian ditanggung nasabah saja.
f. Jika terjadi kerugian ditanggung kedua belah pihak, nasabah dan lembaga.

Keterangan :
  1. Secara teoritis, keunggulan bank/lembaga keuangan syariah terletak pada sistem yang berdasarkan atas prinsip bagi hasil (profit and lost sharing) dan berbagi resiko (risk sharing).  Sistem ini diyakini para ulama sebagai jalan keluar untuk menghindari penerimaan dan pembayaran bunga (riba).  Bank syariah pada hakikatnya adalah lembaga intermediasi yang menjadi perantara antara para pedagang dan investor.  Tabungan hanya akan berguna, apabila diinvestasikan dan para penabung tidak dapat diharapkan untuk sanggup melakukannya sendiri dengan terampil dan sukses, maka tidak diragukan lagi bahwa bank dapat melakukan fungsi yang berguna bagi masyarakat Islam.  Islam tidak menolak usaha yang menghasilkan laba.  Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi bank untuk tidak masuk dalam suatu kemitraan dengan pengusaha dan meminjamkan dana, dengan tanpa memungut bunga, maka bank berbagi resiko dengan para pengusaha.  Hal ini jelas sah dalam Islam, karena bank dapat merugi dan bank tidak memperoleh hasil yang tetap dan pasti.  Di lain pihak, pengusaha juga memperoleh manfaat, karena merasa yakin tidak dipaksa untuk membayar jumlah yang pasti yang tidak mungkin dimiliki manakala perusahaan tidak berhasil sebagaimana mestinya.  Deposito dari bank juga berbagi resiko dan juga akan memperoleh bagi hasil.  Jadi dapat dikatakan tidak melanggar hukum Islam, karena menerima bunga. Jadi, semua pihak mendapat manfaat dan ini memenuhi kriteria keadilan yang diinginkan oleh Islam.
  2. Aktivitas lembaga keuangan syariah didukung dengan skema pinjaman tanpa imbalan yang disebut dana sosial (qardhul hasan).  Pinjaman ini diberikan kepada orang yang posisinya secara ekonomis sangat lemah, namun memiliki potensi keterampilan berusaha.  Lembaga sama sekali tidak mengambil manfaat dari pengelolaan dana tersebut.  Mitra pembiayaan hanya berkewajiban untuk membayar kembali sebesar pokok pinjamannya.
  3. Lembaga keuangan syariah tidak membatasi dirinya untuk hanya bersedia meminjamkan dananya kepada sektor usaha yang sudah mapan saja, atau kepada orang yang dapat menyediakan jaminan untuk memastikan pembayaran kembali utang pokok dan bunganya saja, seperti yang selama ini berlaku pada sistem konvensional.  Pengusaha kecil terdorong untuk tidak ragu-ragu melakukan inovasi guna meningkatkan efektivitas dan efisensi usahanya, karena adanya dukungan lembaga keuangan yang bersedia memberikan dukungan secara pasti terhadap usaha itu.
  4. Bank/lembaga keuangan syariah bekerja berdasarkan prinsip kemitraan dengan para pengusaha.  Pembiayaan yang diberikan oleh bank disertai dengan pemberian konsultasi, pembinaan dan pengawasan, bahkan bila perlu menempatkan orang untuk membantu secara efektif dalam proses manejemen usaha.
Kelemahan Sistem Bunga
Jika dibandingkan dengan sistem syariah, sistem LKM konvensional yang berbasis bunga memiliki berbagai kelemahan sebagai berikut :
  1. Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan/kewajaran bisnis.  Dalam bisnis, hasil dari setiap usaha selalu tidak pasti.  Mitra pembiayaan sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga yang disetujui, walaupun mengalami kerugian, atau bila perusahaan untung kecil, tetapi bunga yang harus dibayarkan melebihi keuntungannya.
  2. Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan kebangkrutan.  Hal ini menyebabkan hilangnya potensi produktif masyarakat secara keseluruhan sejalan dengan menganggurnya sebagian besar orang.  Lebih dari itu, beban utang membuat kesulitan yang menghimpit usaha pemulihan ekonomi, serta membawa penderitaan lebih lanjut bagi seluruh masyarakat.
  3. Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut bunganya membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan bunganya.  Oleh karena itu, untuk keamanannya bank hanya mau meminjamkan dana kepada bisnis yang benar-benar mapan atau kepada orang yang sanggup memberikan jaminan bagi keamanan pinjamannya.  Hal ini menyebabkan tidak seimbangnya pendapatan dan kesejahteraan.
  4. Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi inovasi oleh UKM.  Usaha besar dapat mengambil resiko untuk  mencoba teknik dan produk baru, karena memiliki cadangan dana sebagai sandaran bila ternyata ide barunya tidak berhasil, UKM sulit untuk mencoba ide baru.  Bila meminjam dana berbunga dari bank dan ternyata ide barunya tersebut tidak berhasil, maka konsekuensinya harus membayar pinjaman beserta bunganya dan hal ini menyebabkan kebangkrutan.
  5. Dengan sistem bunga, bank tidak tertarik dalam kemitraan bisnis, kecuali bila ada jaminan pengembalian modal dan bunga.  Setiap rencana bisnis yang diajukan selalu diukur dengan kriteria.  Jadi, bank yang bekerja dengan sistem bunga tidak mempunyai insentif untuk membantu usaha yang berguna bagi masyarakat dan para pekerja.  Sistem ini akan menyebabkan mis-alokasi sumber daya.

Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shahibul māl  dengan mudharib. Dengan demikian semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shahibul māl  dan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan secara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shahibul māl telah dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum habis masa perjanjian akan dianggap sebagai pembagian keuntungan dimuka.

Secara umum bagi hasil dalam mudharabah dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar  3.1. Bagi Hasil dalam Mudharabah
Perjanjian Bagi Hasil  
Oval: Bank 
(Shahibul maal)
Oval: Konsumen 
(mudharib)
                        Keahlian/                                 Modal  100%                                                              Ketrampilan










Proyek /usaha
 








 




Pembagian keuntungan

 
             Nisbah  X %                                                                      Nisbah  X%



 



Modal
 
( sumber : Antonio, 1999:94)                                            pengembalian modal
pokok
Keterangan :

1.             Nasabah mengajukan proposal proyek kepada BMT dan BMT mempelajari proposal tersebut dan timbul kesepakatan bersama.  Kesepakatan tersebut dituangkan ke dalam akad mudharabah.
2.             BMT menyerahkan 100 % dana dan nasabah mengelola proyek atau usaha, dengan jangka waktu, nisbah bagi hasil dan persyaratan lainnya yang tercantum dalam akad pembiayaan.
3.             Pembagian keuntungan/kerugian :
-            Apabila proyek memberikan keuntungan, maka keuntungan dibagi sesuai kesepakatan.
-            Apabila proyek rugi, maka 100% kerugian di tanggung BMT kecuali mudharib (pengelola dana) melakukan kesalahan atau melanggar idak kesepakatan.
-            Dana mudharabah dikembalikan dengan cara diangsur atau sekaligus oleh mudharib sesuai jangka waktu secara teratur yang disepakati.
Implementasi konsep pembiayaan bagi hasil akan menimbulkan konsekuensi lebih lanjut bahwa seluruh kerugian dalam usaha yang dibiayai akan ditanggung oleh bank (shahibul māl) , kecuali jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian nasabah atau melanggar persyaratan yang telah disepakati. Selain itu juga pihak shahibul māl harus aktif berusaha mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerugian nasabah sejak awal, sehingga keduanya cenderung bekerjasama untuk mengatasi masalah yang timbul. 

3.6.4.2  Nisbah Keuntungan
Nisbah keuntungan adalah proporsi pembagian keuntungan dari hasil aktivitas mudharabah.  Nisbah harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal rupiah tertentu. Penentuan nisbah ditentukan berdasarkan kesepakatan, bukan pada porsi setoran modal, walaupun dapat juga bila disepakati ditentukan nisbah keuntungan sebesar porsi setoran modal. 

Ketentuan bagi untung dan bagi rugi merupakan konsekuensi logis dari karakteristik akad mudharabah itu sendiri, yang tergolong ke dalam kontrak investasi (natural uncertainty contracts). Dalam kontrak ini, return dan timing cash flow kita tergantung kepada kinerja sektor riilnya. Apabila laba bisnisnya besar, kedua belah pihak mendapat bagian yang besar pula. Bila laba bisnisnya kecil, mereka mendapat bagian kecil juga. Filosofi ini hanya dapat berjalan jika nisbah laba ditentukan dalam bentuk prosentase, bukan dalam bentuk nominal rupiah tertentu.

Menurut Madzhab Hanafi dan sebagian Madzhab Syafi’i, keuntungan harus diakui seandainya keuntungan usaha sudah diperoleh (walaupun belum dibagikan). Sedangkan, Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hambali menyebut, bahwa keuntungan hanya dapat diakui hanya ketika dibagikan secara tunai kepada kedua pihak.

Pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan mengembalikan lebih dahulu modal yang ditanamkan shahibul māl, namun kebanyakan ulama menyetujui bila kedua belah pihak sepakat membagi keuntungan tanpa mengembalikan modal. Hal ini berlaku sepanjang kerjasama masih berlangsung. Para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan menahan untung, bila keuntungan telah dibagikan, setelah itu usaha mengalami kerugian, sebagian ulama berpendapat, bahwa pengelola akan diminta menutupi kerugian tersebut dari keuntungan yang telah dibagikan kepadanya.

Keuntungan adalah milik bersama antara shahibul māl dan mudharib, karena modal dan kerja adalah sejajar, saling berkepentingan, dan membutuhkan, maka keduanya harus berhak atas keuntungan dengan nisbah masing-masing.

Dalam pembagian hasil keuntungan mudharabah, nisbah mudharib dapat lebih besar atau sebaliknya lebih kecil daripada shahibul māl tergantung pada kesepakatan dalam akad mudharabah. Sebagaimana para ulama sepakat bahwa keuntungan yang didapat oleh masing-masing pihak (shahibul māl dan mudharib) harus dalam jumlah nisbah tertentu, jika keduanya telah sepakat bahwa seperempat (25%) atau setengah (50 %) bagi mudharib misalnya, maka hal itu sudah cukup dimengerti karena bagian sisa tentunya adalah bagi  shahibul māl, semuanya itu tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, baik nisbah masing-masing sama atau lebih besar atau lebih kecil dan harus ditepati. Sebab umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang telah mereka sepakati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar